Sabtu, 22 Februari 2025

Aku Duduk Begitu Lama Bersama Amarahku


 

Aku Duduk Begitu Lama Bersama Amarahku

Aku duduk begitu lama bersama amarahku. Dia menatapku dengan tajam, tanpa suara, tanpa gerakan, hanya gemuruh dalam dadaku yang terus menggema. Aku pikir dia adalah bentengku, perisai yang melindungiku dari kelemahan. Aku pikir dia hadir untuk membantuku bertahan, agar aku tak tampak rapuh di mata dunia.

Hari-hari berlalu, namun dia tetap di sana. Tak beranjak, tak pudar. Aku memberinya ruang, memberinya waktu, bahkan memberinya pelukan, berharap dia akan pergi ketika bosan. Tapi dia tetap diam, seolah menunggu sesuatu. Lelah, aku bertanya, "Kenapa kau tak juga pergi? Apa yang sebenarnya kau inginkan?"

Senja itu, ketika cahaya jingga mulai meredup, dia akhirnya berbicara. Suaranya tak garang seperti yang kuduga. "Aku bukan amarah yang kau pikirkan. Aku adalah kesedihan yang kau sembunyikan."

Aku terpaku. Seketika, dinding yang kubangun runtuh. Aku menyadari betapa lama aku mengira diriku marah, padahal aku hanya terluka. Aku ingin berteriak, tetapi yang sebenarnya kubutuhkan hanyalah pelukan. Aku ingin berperang, tetapi yang benar-benar kuinginkan hanyalah kedamaian.

Malam itu, aku menangis. Bukan karena kalah, tetapi karena akhirnya aku mengerti. Aku membiarkan amarahku berubah bentuk, menjadi sesuatu yang lebih lembut, lebih jujur. Aku merangkulnya—bukan untuk menahannya, tetapi untuk melepaskannya dengan penuh penerimaan.

Aku duduk begitu lama bersama amarahku, sampai dia membisikkan kebenaran. Dia bukan musuhku. Dia adalah bagian dari jiwaku yang hanya ingin dipahami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku Duduk Begitu Lama Bersama Amarahku

  Aku Duduk Begitu Lama Bersama Amarahku Aku duduk begitu lama bersama amarahku. Dia menatapku dengan tajam, tanpa suara, tanpa gerakan, han...